Pungutan Liar Di KUA Segera Dihentikan
Anggota DPR Hidayat Nurwahid mendesak agar pungutan liar (pungli) yang dilakukan petugas KUA dalam masalah pernikahan harus segera dihentikan. Hal ini menjadi masalah bagi Kementerian Agama karena tidak mensosialisasikan biaya pencatatan pernikahan dengan maksimal.
“ Prinsipnya, saya setuju dengan Irjen Kemenag Muhammad Yasin bahwa pungli ini harus dihentikan melalui beragam cara. Diantaranya adalah rakyat harus diberitahu bahwa sesungguhnya biayanya rendah sekali, 30 ribu rupiah saja,” tandas politisi PKS di Jakarta, Senin (7/1) siang.
Sebelumnya Irjen Kemenag M Yasin mengungkapkan adanya pungli yang dilakukan petugas dari KUA mencapai Rp.1,2 triliun. Pungli itu terjadi kebanyakan ketika penghulu meminta ongkos menikahkan dari pasangan yang telah mendaftar ke KAU, taripnya bervariasi dari Rp.500. ribu sampai Rp3, juta padahal ongkos resmi yang ditetapkan oleh Kementerian Agama hanya 30 ribu rupiah.
Menurut Hidayat, kalau kemudian diperlukan anggaran operasional, supaya menutup terjadinya pungli atau gratifikasi, seharusnya pihak kementrian agama menyediakan anggaran yang memungkinkan agar KUA bisa melakukan perannya dengan maksimal.
Bisa dibayangkan, sambungnya, jika kemudian mereka tidak mau datang ke daerah untuk menikahkan orang, hanya karena tidak ada anggaran operasional, bagaimana orang-orang di lapangan. Mereka tidak nikah atau mereka harus nikah siri?
“ Jangan dijadikan alasan buat nikah siri karena petugas KUA nya tidak ada, ini tidak boleh terjadi. Karenanya Komisi VIII DPR segera mendukung untuk menyelesaikan masalah hal ini, kita berharap dalam Rapat Kerja di minggu-minggu pertama dengan pihak Kementrian Agama hal ini sudah disiapkan, termasuk juga akan mendatangkan Irjen Kemenag Mohamad Yasin,” ujarnya.
Ditambahkan, masalah ini menjadi salah satu yang akan ditangani secara serius termasuk isu terkait dengan laporan PPATK soal temuan dana pengelolaan haji. “ Kami juga akan persoalkan tentang itu supaya Kementerian Agama benar-benar bisa menjadi teladan sebagai Kementerian yang good dan clean goverment,” ujarnya.
Sementara itu Wakil Ketua Komisi VIII DPR Jazuli Juwaini mengatakan, yang perlu dibenahi sistem pelayanannya. Yang dimaksud dengan sistem pelayanan sebenarnya dalam undang-undang, kewajiban KUA atau kementerian agama adalah mencatat sebuah kejadian pernikahan yang beragama Islam kemudian dikeluarkan buku nikahnya.
Tradisi selama ini petugas KUA juga memberikan khutbah nikah, bahkan kadang-kadang juga menggantikan jadi wali. Padahal walinya ada. “ Menurut saya harus diubah, mereka tidak perlu hadir dicara pernikahan itu. Mereka cukup menerima laporan dengan syarat-syarat yang ditentukan. Umpanya si A akan menikah dengan si B mau menikah tanggal sekian. Orang lapor di kantor KUA, diverifikasi syaratnya, setelah itu dicetak buku nikahnya sesuai dengan jam dan tanggal pernikahannya,” jelas dia.
Menurtu Jazuli, pelayanan publik buku nikah itu perlu dipampang di seluruh kantor KUA. Proses pembuatan dan pencetakan kartu atau buku nikah itu juga ditentukan waktunya. “ Jadi yang dibutuhkan pencatatan dan memproduk buku nikah, kalau jumlahnya besar dan dicetak kolektif biayanya akan lebih murah,” jelas Pimpinan Komisi VIII DPR (Spy, mp)/foto:iwan armanias/parle.